Dulu Aku Pernah Merasakan Bahagianya Pernikahan
Dulu Aku Pernah Merasakan Bahagianya Pernikahan
Kutulis kisah ini untuk
segenap muslimah. Meskipun dengan menulisnya, hatiku semakin
teriris-iris. Namun biarlah luka itu menganga, asalkan kalian tidak
menjadi korban berikutnya.
Dulu… aku pernah merasakan bahagianya
pernikahan. Aku mencintai suamiku, dia pun mencintaiku. Meskipun hidup
pas-pasan, rumah tangga kami diliputi kedamaian. Suamiku orang yang
pekerja keras. Ia berusaha mendapatkan tambahan penghasilan untuk bisa
ditabung seiring Allah mengkaruniakan seorang buah hati kepada kami.
Kami pun berusaha hidup qanaah, mensyukuri nikmat-nikmat Allah atas
kami.
Saat-saat paling membahagiakan bagi kami
adalah ketika malam hari. Saat sunyi dini hari, anakku lelap dalam
tidurnya, aku dan suami bangun. Kami shalat malam bersama. Suamiku
menjadi imam dan aku larut dalam bacaan Qur’annya. Tak jarang aku
menangis di belakangnya. Ia sendiripun juga tak mampu menahan isak dalam
tilawahnya.
Entah mengapa. Mungkin karena kami
melihat teman-teman yang telah punya mobil baru. Tetangga yang membangun
rumah menjadi lebih indah. Mulai terbersit keinginan kami agar uang
kami semakin bertambah. Suamiku tak mungkin bekerja lebih lama karena ia
sudah sering lembur untuk menambah penghasilannya. Tiba-tiba aku
tertarik dengan bisnis saham. Sebenarnya aku tahu sistem bisnis ini
mengandung riba, tapi entahlah. Keinginan menjadi lebih kaya membutakan
mataku.
“Ambil bisnis ini saja, Mas. Insya Allah
kita bisa lebih cepat kaya,” demikian kurang lebih saranku pada suami.
Dan ternyata suamiku juga tidak menolak saran itu. Ia satu pemikiran
denganku. Mungkin juga karena tergoda oleh rayuan iklan bisnis saham
tersebut.
Akhirnya, kami membeli saham dengan
seluruh tabungan yang kami miliki. Suamiku mengajukan kredit untuk modal
usaha kami. Sejumlah barang yang bisa kami jual juga kami jadikan
modal, termasuk perhiasan pernikahan kami.
Beberapa pekan kemudian, bisnis kami
menunjukkan perkembangan meskipun tidak besar. Kami mengamati saham
hingga ibadah-ibadah sunnah yang dulunya membahagiakan kami mulai
keteteran. Tilawah tidak sempat. Shalat sunnah hilang diterpa kantuk dan
lelah. Hidup mulai terasa gersang di satu sisi, tetapi kekayaan mulai
tergambar di sisi lain.
Hingga suatu hari, tiba-tiba harga saham
menurun drastis. Kami seperti terhempas dari ketinggian. Kami sempat
berharap bisa bangkit, tetapi harga saham kami justru semakin terpuruk.
Hutang kami semakin menumpuk. Cash flow keluarga kami berantakan.
Di saat seperti itu, emosi kami seperti
tidak terkendali. Ada sedikit saja pemicu, aku jadi marah. Pun dengan
suami. Ia jadi sering menyalahkanku karena menyarankan bisnis riba
dengan modal riba pula. Aku pun membela diri dan mengatakan kepadanya,
mengapa sebagai suami yang harusnya jadi imam malah mengikuti saran
istri jika saran itu keliru. Pertengkaran memuncak. Aku tidak dapat
menguasai diri.
“Kalau begitu, ceraikan saja aku,” kataku malam itu.
“Ya, aku ceraikan kamu,” jawab suami dengan nada tinggi. Mendengar teriakan talak itu aku terhentak. Aku menangis. Anakku juga menangis. Tapi terlambat. Suamiku terlanjur pergi setelah itu.
“Ya, aku ceraikan kamu,” jawab suami dengan nada tinggi. Mendengar teriakan talak itu aku terhentak. Aku menangis. Anakku juga menangis. Tapi terlambat. Suamiku terlanjur pergi setelah itu.
Kini aku harus membesarkan anakku seorang diri. Sering sambil menangis aku membaca ayat:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS. Al Baqarah: 276)
Wahai para muslimah… qana’ah… qana’ah…
Jangan menuntut suamimu lebih dari kemampuannya. Tak ada larangan untuk
berusaha bersama-sama agar kondisi finansial menjadi lebih baik. Tetapi
jangan sekali-kali terperosok dalam bisnis riba. Bahagia dalam hidup
sederhana lebih baik daripada jiwa menderita karena cinta dunia.
Cukuplah aku yang berkata sambil
menangis, “Dulu kami dipersatukan oleh ketaatan kepada Allah, lalu kami
dipisahkan oleh kedurhakaan pada-Nya” [Kisahikmah.com]